Yosha!!!
Kali ini Yumi akan membahas mengenai tari-tarian yang ada di Jepang. Ternyata tidak hanya di Indonesia saja yang kaya akan beragam budaya, di negara matahari terbit ini juga masih menjunjung tinggi nilai kebudayaannya, yang mana salah satunya aalah tarian tradisional. Tarian Tradisional Jepang itu banyak lho, mulai dari gerakan yang penuh semangat, penuh ekspresi hingga lemah gemulai penuh keanggunan.
1. Kabuki
Kabuki (歌舞伎) merupakan suatu kesenian tradisional yang sangat popular sampai saat ini. Kabuki itu sendiri artinya tarian yang menggunakan bentuk teknik “ki”yang didalamnya terdapat nyanyian “ka” dan “bu”sehingga kabuki sendri dapat diartikan sebagai seni menyanyi dan menari.
Sejarah Kabuki
Kabuki mulai muncul pada awal tahun 1600 an, diperkenalkan oleh wanita kuil bernama Okuni dan dipertunjukkan di atas sungai kering di ibukota Kyoto. Dari situlah, Kabuki mulai dikenal oleh masyarakat Kyoto dan membawa perkumpulan kabuki lainnya. Kabuki yang dulu berbeda dengan yang sekarang. Dulunya, pertunjukan kabuki yang dimainkan oleh sekelompok wanita penghibur (Okuni) disebut Onna-kabuki (kabuki wanita), sedangkan kabuki yang dibawakan remaja laki-laki disebut Wakashu-kabuki (kabuki remaja laki-laki). Namun, karena kebanyakan wanita penghibur pada masa ini di luar panggung menjadi pelacur yang dapat merusak moral pada jaman itu, akhirnya pada tahun 1629 ini melarang kabuki wanita penghibur untuk pentas diatas panggung begitu juga kabuki laki-laki muda yang juga pada akhirnya ikut dilarang pada tahun 1652 karena merupakan bentuk pelacuran terselubung.
Pada Abad 18, seni Kabuki ini sempat di geser oleh drama bunraku, membuat aktor kabuki mengadaptasi pertunjukan bunraku ke dalam pertunjukan mereka. Pada jaman ini sempat adanya pergesran pusat kebudayaan dari Kyoto dan Osaka ke Edo, lalu munculah pertunjukan Yarō kabuki (野郎歌舞伎 kabuki pria) yang dibawakan seluruhnya oleh pria dewasa diciptakan sebagai reaksi atas dilarangnya Onna-kabuki dan Wakashu-kabuki. Aktor kabuki yang seluruhnya terdiri dari pria dewasa yang juga memainkan peran sebagai wanita melahirkan "konsep baru" dalam dunia estetika.
Pada tahun 1868, karena masuknya budaya barat di Jepang kabuki sempat terancam untuk di hapuskan namun karena kesuksesan para aktor kabuki untuk mempertunjukkan kabuki di depan kaisar Meiji membuat Kabuki masih bisa di nikmati sampai masa perang dunia II karena harus banyak kehilangan aktornya dalam perang. Selain itu, seni Kabuki berhadapan dengan rival terbesarnya dalam dunia hiburan, yaitu film dan televisi. Namun untungnya hingga kini, Kabuki tetap menjadi salah satu bentuk seni teater yang masih dapat kita nikmati hingga saat ini. (Indra Aziz.net, 2006)
Peran yang ada dalam Kabuki
Peran wanita dalam drama Kabuki klasik disebut onnagata atau tateoyama yang diperankan oleh para lelaki. Meskipun ada peran wanita disana tetapi itu adalah pria yang sedang menyamar. Adat 3 jenis tingkatan peran wanita, dalam drama klasik kabuki yaitu :
a. Hime dan machimusume, yaitu peranan sebagai wanita muda
b. Okugata dan sewayobo, yaitu peranan sebagai wanita dewasa
c. Fukeoyama, yaitu peranan sebagai wanita tua
Para tokoh memainkan perannya sesuai dari urutannya yaitu dari muda hingga tua dan mereka berperan secara turun temurun. Dalam bermain drama klasik kabuki, para orang tua wajib membimbing dan menentukan peran anak-anaknya, apakah perannya menjadi tachiyaku (peran pria) atau tateoyama ( peran wanita), pendek kata mereka bermain sesuai dengan tingkatan usianya.
Anak – anak yang memerankan suatu peran disebut koyaku (peran anak) Dalam seni peran drama klasik kabuki , istilah Mie merupakan suatu hal yang penting yang tidak boleh terlewatkan, karena mie merupakan klimaks dari suatu akting dengan pose yang mengagumkan yaitu sikap seperti patung dengan mata yang melotot. Dengan kata lain, Mie juga merujuk kepada seorang pemain yang menghentikan aktivitasnya sejenak untuk mencapai klimak emosi di dalam akting yang diperankannya.
a. Hime dan machimusume, yaitu peranan sebagai wanita muda
b. Okugata dan sewayobo, yaitu peranan sebagai wanita dewasa
c. Fukeoyama, yaitu peranan sebagai wanita tua
Para tokoh memainkan perannya sesuai dari urutannya yaitu dari muda hingga tua dan mereka berperan secara turun temurun. Dalam bermain drama klasik kabuki, para orang tua wajib membimbing dan menentukan peran anak-anaknya, apakah perannya menjadi tachiyaku (peran pria) atau tateoyama ( peran wanita), pendek kata mereka bermain sesuai dengan tingkatan usianya.
Anak – anak yang memerankan suatu peran disebut koyaku (peran anak) Dalam seni peran drama klasik kabuki , istilah Mie merupakan suatu hal yang penting yang tidak boleh terlewatkan, karena mie merupakan klimaks dari suatu akting dengan pose yang mengagumkan yaitu sikap seperti patung dengan mata yang melotot. Dengan kata lain, Mie juga merujuk kepada seorang pemain yang menghentikan aktivitasnya sejenak untuk mencapai klimak emosi di dalam akting yang diperankannya.
Selain itu, dalam drama klasik kabuki dikenal juga adanya 2 jenis peran dasar yang terdiri dari 2 jenis wagoto dan aragoto. Wagoto adalah jenis dasar drama klasik kabuki yang mencerminkan realitas kehidupan masyarakat kota yang berkembang di daerah kansai. Karakter utamanya naturalisme dan pokok ceritanya berkisar tentang kisah cinta pra dan wanita, sedangkan Aragoto adalah jenis peran yang mencerminkan semangat masyarakat kota di daerah Edo yang berwatak sombong, kasar, berideologi kuat.
Peran arigoto biasanya diimplementasikan ke dalam cerita-cerita kepahlawanan, kegagahan, semangat yang mengebu-gebu, sehingga hampir cenderung kasar tanpa adanya unsur yang lemah lembut seperti pada peran wagoto. Itulah sebabnya make up para pemain aragoto make up berwarna merah terang, biru dan hitam. Warna-warna make up tersebut disebut kumadori yang melambangkan kekuatan dasyat dan kekuatan manusia yang luar biasa.
Peran arigoto biasanya diimplementasikan ke dalam cerita-cerita kepahlawanan, kegagahan, semangat yang mengebu-gebu, sehingga hampir cenderung kasar tanpa adanya unsur yang lemah lembut seperti pada peran wagoto. Itulah sebabnya make up para pemain aragoto make up berwarna merah terang, biru dan hitam. Warna-warna make up tersebut disebut kumadori yang melambangkan kekuatan dasyat dan kekuatan manusia yang luar biasa.
Cerita Kabuki
Pada awal abad 19 urutan alur drama klasik kabuki dapat dikelompokkan ke dalam 2 jenis yaitu :
a. Jidaimono (= cerita tentang sejarah)
Cerita jenis ini paling populer dan superior, karena bersumber pada kisah-kisah pertempuran antara keluarga Minamoto dan Taira, shogun Ashikaga dan Hojo, Odanobunaga dan Toyotomi Hideyoshi, serta kisah pembayar pajak dan si pemberani serta keadaan masyarakat Jepang pada masa pemerintahan Tokugawa. Termasuk pula dalam jenis cerita tentang sejarah ini, adalah cerita mengenaii kehidupan kalangan bangsawan ataupun kalangan istana yabg disebut ochomono, serta cerita-cerita yang menceritakan tentang skandal disebut oie sodomono.
b. Sewamono (cerita mengenai keadaan kehidupan sehari- hari)
Jenis cerita ini menggambarkan realitas kehidupan sehari-hari rakyat jelata, baik menyangkut tentang kesulitan hidup, profesi dan penjahat. misalnya kisah pembuat onar, penata rambut, pengemis bahkan seluk beluk kehidupan para pencuri. Berkaitan dengan unsur cerita di atas, salah satu penunjang kepopiuleran drrama klasik Kabuki pada masa sekarang ini adalah adanya naskah asli kabuki yang dinamakan “kizewamono”. Naskah ini ditulis dalam bahasa Jepang klasik dan isinya menggambarkankeerotisan, siksaan serta kehidupan suram masyarakat rendah pada jaman Tokugawa. dan bahasa yang digunakan dalam bakubi adalah Koten yaitu bahasa jepang klasik. Kizewamono disebut sebagai naskah asli drama klasik kabuki karena kizewamono tidak dipengaruhi oleh karya-karya sebelumnya seperti bunraku.
Pada awal abad 19 urutan alur drama klasik kabuki dapat dikelompokkan ke dalam 2 jenis yaitu :
a. Jidaimono (= cerita tentang sejarah)
Cerita jenis ini paling populer dan superior, karena bersumber pada kisah-kisah pertempuran antara keluarga Minamoto dan Taira, shogun Ashikaga dan Hojo, Odanobunaga dan Toyotomi Hideyoshi, serta kisah pembayar pajak dan si pemberani serta keadaan masyarakat Jepang pada masa pemerintahan Tokugawa. Termasuk pula dalam jenis cerita tentang sejarah ini, adalah cerita mengenaii kehidupan kalangan bangsawan ataupun kalangan istana yabg disebut ochomono, serta cerita-cerita yang menceritakan tentang skandal disebut oie sodomono.
b. Sewamono (cerita mengenai keadaan kehidupan sehari- hari)
Jenis cerita ini menggambarkan realitas kehidupan sehari-hari rakyat jelata, baik menyangkut tentang kesulitan hidup, profesi dan penjahat. misalnya kisah pembuat onar, penata rambut, pengemis bahkan seluk beluk kehidupan para pencuri. Berkaitan dengan unsur cerita di atas, salah satu penunjang kepopiuleran drrama klasik Kabuki pada masa sekarang ini adalah adanya naskah asli kabuki yang dinamakan “kizewamono”. Naskah ini ditulis dalam bahasa Jepang klasik dan isinya menggambarkankeerotisan, siksaan serta kehidupan suram masyarakat rendah pada jaman Tokugawa. dan bahasa yang digunakan dalam bakubi adalah Koten yaitu bahasa jepang klasik. Kizewamono disebut sebagai naskah asli drama klasik kabuki karena kizewamono tidak dipengaruhi oleh karya-karya sebelumnya seperti bunraku.
Panggung Kabuki
Seperti telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa drama klasik Kabuki pada awal mulanya tidak dimainkan di atas panggung, tetapi ketika Okuni diundang shogun Tokugawa untuk menunjukkan kebolehanny di istana kaisar di Kyoto pada tahun 1604, maka untuk pertama kalinya drama drama klasik Kabuki dipentaskan di atas panggung. Panggung pementasan drama klasik kabuki terbagi dalam 6 bagian utama yaitu
a. Atoza ( bagian belakang panggung)
a. Atoza ( bagian belakang panggung)
Tempat ini biasanya ditempati oleh musik pengiring yang disebut dengan istilah ayashikata.
b. Wakiza ( bagian samping kanan panggung)
b. Wakiza ( bagian samping kanan panggung)
Tempat ini biasanya ditempati oleh 8 atau 9 orang penyanyi.
c. Honbutai (panggung untuk pertunjukkan)
c. Honbutai (panggung untuk pertunjukkan)
Tempat ini merupakan tempat drama klasik Kabuki dipentaskan
d. Hanamichi
d. Hanamichi
Tempat ini adalah istilah yang digunakan untuk panggung yang terletak di sisi kiri dan kanan panggung yang berbentuk lorong panjang yang menerobos di antara kursi-kursi penonton. Pada umumnya panggung yang lebih sering digunakan adalah hanamichi sebelah kiri.
e. Mawari Butai
e. Mawari Butai
Istilah yag digunakan sebagai panggung pementasan drama klasik kabuki yang bisa berputar yang digerakan dari bawah oleh petugas pentas. Mawari butai berfungsi untuk mengganti latar belakang panggung dan peralihan babak dengan cepat. Perubahan panggung ini tidak mengganggu cerita tetapi biasanya ditunggu-tunggu para penonton karena hal ini merupakan suatu hal yang menakjubkan. Pada masa sekarang ini sehubungan dengan sudah majunya teknologi maka berputarnya panggung tidak lagi digerakkan dengan tenaga manusia, tetapi sudah menggunakan tenaga listrik.
f. Oozeri
f. Oozeri
Peralatan yang sudah jadi dalam berbagai bentuk, sebenarnya Oozeri dapat dikatakan sebagai panggung mini yang dipersiapkan untuk dapat naik turun dengan mudah.
Musik Kabuki
Instrumen yang digunakan dalam pementasan drama klasik kabuki sebagai musik pengiring adalah taiko (gendang), shamisen ( semacam gitar yang berdawai tiga), dan tsuzumi (=genderang yang dipukul-pukul dengan tangan). Kombinasi dari instrumen-instrumen tersebut di atas menghasilkan ekspresi bunyi-bunyi an asli seperti bunyi hujan, tiupan angin dan salju.
Jenis musik pengiring yang mendukung tarian dalam pementasan drama klasik kabuki dapat dikelompokkan ke dalam 3 jenis yaitu Osatsume, Kiyomoto dan Nagauta. Osatsume adalah ekspresi musik yang dimunculkan hanya untuk adegan-adegan yang menakutkan. Kiyomoto adalah ekspresi musik pengiring untuk narasi nyanyian Jepang yang anggun sedangkan Nagauta adalah nyanyian indah yang ditampilkan dalam berbagai cerita, dan merupakan salah satu musik terpenting dalam pementasan drama klasik kabuki.
Satu hal lain yang tidak boleh dilupakan dalam pementasan drama klasik kabuki adalah Hyosigi. Hyosigi adalah musik yang digunakan untuk menentukan kapan layar dibuka dan ditutup Semua alat musik yang digunakan dalam kabuki sangat sederhana, karena semuanya terbuat dari kayu yang digunakan dengan cara dipukul, kecuali shamisen dimainkan dengan cara dipetik dawainya dengan alat petik yang terbuat dari kayu.
Tari Kabuki
Tari Kabuki
Dalam pementasan drama kabuki, unsur tari menjadi penunjang yang sangat penting, karena bentuk tarian dapat menjadi klimaks dari suatu lakon yang dipentaskan. Ada 3 jenis tarian yang digunakan dalam pementasan drama klasik Kabuki yaitu tarian selingan, tarian drama dan tarian yang menunjukkan kepribadian, masing – masing tarian mempunyai waktu tampil dan tujuan tersendiri.
a. Tarian selingan
a. Tarian selingan
Tarian ini ditampilkan sebagai sisipan diantara pergantian babak dalam drama klasik kabuki, dengan tujuan untuk menghilangkan kejenuhan bagi penonton. Jenis tarian ini hanyalah sebagai pelengkap saja, tidak bermaksud membawa penonton pada jenis drama yang lebih komplek.
b. Tarian drama
b. Tarian drama
Tarian ini ditampilkan dengan iringan musik secara lengkap, tarian ini bertujuan menunjang gerakan para pemain kabuki, dalam memainkan lakon yang diperankan oleh pemain yang bersangkutan menjadi sempurna. Biasannya tarian ini memaparkan suatu cerita secara lengkap sesuai dengan skenario drama yang dipentaskan.
c. Tarian yang menunjukkan kepribadian
c. Tarian yang menunjukkan kepribadian
Tarian ini merupakan tarian adat, yaitu suatu ekspresi tarian rakyat yang merefleksikan kehidupan yang diceritakan dan ditampilkan di atas panggung kabuki, Biasanya tarian ini merupakan tarian perorangan, sehingga menonjolkan pribadi seseorang.
Penggunaan Dialog
Dalam setiap drama pasti kita temui dialog, begitu pula dalam drama klasik kabuki. Fungsinya untuk memperjelas dan mengekspresikan suatu adegan. Unsur dialog dalam drama klasik Kabuki mulai dikenal sebagai akibat dari larangan pemerintah Bakufu yang tidak memperbolehkan adanya lagu dan tari yang dapat membangkitkan nafsu birahi.
Untuk mengisi kekosongan itu maka timbullah bentuk dialog untuk memperkuat ekspresi para pemain yang dilakukan dengan gerakan yang wajar. Melalui dialog ini, muncullah jenis cerita aragoto yang diciptakan Ichikawa Danjuro dengan naskah pertamanya berjudul “Shintenno Osamadachi” yang pertama dipentaskan di Edo pada tahun 1637.
( sumber : http://aimizu4869.blogspot.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar