Pages

CERBUNG_SIERRA

SIERRA

PROLOG


       Bisa dikatakan aku tidak mengenalnya baik sewaktu satu sekolah dulu, mungkin salah satu sebabnya karena kami tidak pernah berada dalam kelas yang sama dan menurutku dunia kami sangatlah bertolak belakang. Dia yang sejak awal sudah menjadi pelajar teladan di sekolahku, bahkan pernah memperoleh kesempatan mengikuti pertukaran ke Austria selama satu semester mana bisa di bandingkan dengan aku yang hobinya membolos dan sulit sekali masuk dalam peringkat seratus besar di sekolah.
      Ngomong-ngomong tentang perkenalan, seingatku dulu, kami pernah sekali berbincang di upacara penerimaan siswa baru, tetapi itupun bisa dibilang hanya sekedar pembicaran basa-basi saja dan jika ditanya mengenai kesan pertamaku terhadapnya, “dia sama seperti siswi normal lainnya, manis dan ramah, meskipun terkesan sedikit pendiam,” Yah, tetapi memang seperti itulah karakter anak pintar kebanyakan, bukan? Mereka seperti selalu dikelilingi  oleh semacam aura misterius di sekitarnya.
        Hanya saja, yang tidak habis aku pikir, setelah dua tahun lamanya kami tidak pernah berjumpa, kami kembali dipertemukan dengan cara seperti ini. Kukira aku akan bertemu dengannya lagi jika aku berkunjung ke universitas Tokyo, namun nyatanya tidak..
        Dia ada di sini, tengah berlarian di salah satu sudut kota kecil yang terletak di pinggiran Kyoto, mengenakan t-shirt longgar berwarna putih sambil menggendong tas hitam besar di balik punggungnya. Aku hampir tidak menyadari kalau itu dia karena penampilannya yang terkesan tomboi, tidak seperti dulu.
Ah, mungkin juga tidak,
Mungkin, seperti inilah  dirinya yang sesungguhnya.
Sisi lain yang tidak pernah aku ketahui selama ini.

    “Mau sampai kapan kau berdiri mematung disana?” Suara sopran lelaki bernama John membuyarkan pikiranku seketika. Dia memandangku kusut dengan matanya yang sipit, rambut pirang yang baru di cat beberapa hari yang lalu kini terlihat acak-acakan, tidak karuan. Sepupuku yang satu itu kini benar-benar tampak seperti preman lokal yang hilang di perantauan. Tawaku geli melihatnya. Buru-buru kuhampiri dia yang sedang duduk berjongkok di bawah lampu penerangan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar