DON'T BE SCARED # 1 #
Hari ini, tepat
setelah jam pulang sekolah Erika berencana untuk menyerahkan angket
pendaftarannya ke ruang klub kendo dengan diantar Meilisa, sahabat baiknya.
Sejak smp, dirinya memang sudah tertarik dengan seni bela diri asal Jepang itu.
Orang tua Erika sendirilah yang menyarankanya untuk mempelajari salah satu
jenis bela diri, agar aman dari gangguan orang jahat, begitu kata mereka.
Memang tidak ada salahnya mengikuti saran tersebut, mengingat keadaan di
jalanan kota semakin tidak aman dari waktu ke waktu, penuh mara bahaya yang
bisa mengancamnya di mana saja dan kapanpun. Apalagi akhir-akhir ini, media
sering melaporkan banyaknya kejahatan yang kerap mengincar perempuan. Yah, mungkin
saja sebagian besar dari pelaku kriminal itu berasumsi kebanyakan dari
perempuan jarang yang memiliki seni bela diri, sehingga mereka menganggap perempuanlah
sasaran yang mudah untuk di tangani.
Di sebelah timur
sekolah, tepatnya di dekat aula olahraga, beberapa murid terlihat bergerombol dan
suara mereka terdengar seperti dengungan lebah dari kejauhan. Mungkin saat ini
ada pelantikan dengan anak baru, batin Erika berlarian penuh semangat mendahului
langkah Meilisa menuju tempat tersebut. Antusiasnya pun meningkat ketika mendengar
pukulan shinai dari arah dalam sana. Bukan
hal yang sulit untuk Erika yang bertubuh kecil untuk menyelinap masuk melewati
kerumunan murid-murid itu.
Memiliki tubuh ramping
itu memang menguntungkan, tidak begitu lama waktu yang dibutuhkannya untuk sampai
di deretan baris paling depan. Erika melambaikan tangan, setengah berteriak memanggil
Meilisa yang berada jauh di belakang sana, “Jangan lelet Lisa,” serunya gembira.
Hubungan baik
terjalin karena ada kecocokan di kedua pihak, bukan? Sama dengan keduanya.
Meilisa itu sebenarnya juga memiliki karateristik yang sama dengan Erika hanya
saja perempuan yang satu itu terlalu jaga image di depan orang, berbeda dengan Erika
yang begitu cuek dengan sekitarnya.
“Eriikkaa, kau mau
mati haahh?!” Seru Meilisa yang kesal di belakang sana, tampaknya teman Erika
yang satu itu cukup kesulitan menghadapi hal-hal heroik semacam ini.
Hanya saja Erika merasa
semangatnya langsung pudar seketika begitu melihat pertandingan yang tidak
sesuai dengan apa yang dia harapkan. Suasana di sana, di dalam ruangan itu,
sangat mencengangkan, dilihat oleh berpuluh-puluh siswa senior dan junior.
Pertandingan kendo satu lawan satu yang begitu tragis dan di monopoli dengan
salah satu orang.
Junior yang
notabane adalah teman satu angkatannya itu duduk dan berdiri bergiliran. Raut
wajah mereka begitu mengenaskan, penuh dengan rona ketakutan ketika nama mereka
di panggil, satu per satu dan saat mereka berdiri Erika seolah melihat tahanan
yang siap menghadapi hukuman mati. Erika takut, tentu saja. Badannya sampai
gemetaran hanya dengan melihat wajah kesakitan dan ketakutan di depan sana,
sedang Meilisa yang akhirnya berhasil menyusulnya hanya berdiri diam terpaku di
sampingnya masih dalam keadaan shock.
“A..aku takut!”
Kata-kata yang
Meilisa ucapkan di tengah rasa takutnya itu membuat Erika tersadar, bahwa semua
orang yang ada di ruangan itu pasti merasakan hal yang sama dengan dirinya,
terlebih lagi teman-temannya di depan sana. Beberapa menit kemudian nama
seseorang kembali disebut setelah sebelumnya anak lelaki bertubuh kecil telah
terlebih dahulu terlempar beberapa meter, keluar dari matras sementara shinai
yang dia gunakan telah terbelah menjadi dua.
Erika benar-benar
tidak tahan melihat adegan itu lama-lama. Batinnya kini penuh perasaan bimbang,
di satu sisi ada keinginan untuk melawan tetapi di sisi lain dia tidak ingin
terlibat masalah. Namun, apakah dengan berdiam seperti ini akan membuatnya
lebih baik? Dia merasa begitu geram dengan rasa takutnya.
Tidak! mengalah
dengan rasa takut, tidak mungkin akan membuatnya merasa lebih baik, tetapi
kelak justru akan membuatnya membenci dirinya sendiri dan seni bela diri kendo
yang sangat dia suka. Dan tentu saja di kemudian hari dia tidak ingin menyebut
dirinya sendiri adalah seorang pecundang. Tiba-tiba saja pemikiran nekad muncul
di dalam otaknya. Dia harus melawan rasa takut itu berikut dengan orang yang
menyebabkannya jika tidak impiannya masuk kub kendo smanya tidak akan tercapai.
“Hei Kau!”
Benar saja,
teriakan yang di ucapkannya dengan lantang dan begitu arogan itu mengena, orang
di depan sana tak terkecuali dengan para penonton lain yang kini sedang
memandangnya aneh. Suasana bahkan berubah menjadi lebih mencekam dari
sebelumnya ketika orang pengintimidasi itu menoleh.
Sebagian besar
penonton yang memenuhi ruangan itu mungkin akan menilai dirinya sebagai orang
yang pemberani, namun sebenarnya kaki Erika sekarang ini juga sedang gemetaran
dan jantungnya berdegub kencang, ketika melangkah maju ke depan mendekati arena
pertandingan. Ya, dia lebih cocok untuk di sebut orang nekad daripada pemberani
tetapi apa boleh buat bukan, tantangan sudah di buat dan dia tak mungkin untuk
bisa mundur lagi.
“Ya, kau orang di
balik topeng itu!” tunjuknya dengan arogan sambil berdoa dan terus menyemangati
dirinya sendiri. Dia tunjukkan angket pendaftarannya ke hadapan semua orang di
depan sana, “Aku juga peserta kenshi
di sini, bagaimana jika kita adakan tantangan!”
Dan begitulah,
dengan langkah penuh tekad, Erika akhirnya mengambil jalan untuk bertarung satu
lawan satu. Dia memang pernah sekali mengikuti turnamen kendo antar sekolah,
saat masih smp dulu, tetapi itu sama sekali tidak bisa menjamin dirinya akan
menang telak kali ini karena untuk sekarang, dia sama sekali tidak tahu
seberapa bagus teknik dan kekuatan dari lawan yang akan di hadapinya itu.
Sayangnya, segala
tindakan yang di landasi oleh kebencian, memang jarang mendapat berkat dari
Tuhan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar